Museum Provinsi Sumut Menggelar FGD Kajian Koleksi Naskah Bambu Dan Koleksi Balabal Koleksi

Home / Berita  / Museum Provinsi Sumut Menggelar FGD Kajian Koleksi Naskah Bambu Dan Koleksi Balabal Koleksi

Dua peti mati dengan ukiran khas Gorga Batak terpajang di Museum Negeri Sumatra Utara, Kamis (24/7/2020). Peti berukuran panjang 2 meter lebih dan lebar satu meter itu kondisinya dalam perbaikan, karena mengalami kerusakan cukup krusial. Rusak di beberapa sisi lantaran sudah uzur. Diperkirakan usianya di atas 100 tahun.

Dalam istilah Batak, peti mati diartikan sebagai abal-abal atau terkadang disebut parmualmualon. Yang ada di museum dibuat dari satu kayu utuh atau disebut Hau Sada. Dibuat dua sisi, sebagai bilik jenazah dan penutupnya.

Di bagian kepala terdapat ukiran gorga dengan kombinasi warna merah, hitam dan putih. Warna yang punya makna filosofis mendalam bagi etnis Batak. Bentuknya seperti perahu. Konon dalam kepercayaan Batak Kuno, perahu itu yang membawa arwah almarhum ke surga.

Biasanya, Abal-abal dibuat dari pohon nangka, jabi-jabi atau jenis pohon bergetah, pohon enau. Setiap prosesnya, mulai dari meminta pande atau tukang untuk membuat abal-abal hingga selesai, semuanya menggunakan ritual. Tidak boleh asal dibuat sembarangan.

Secara spritualitas, bentuk penutup peti itu dibuat menyerupai perahu.  Alasannya adalah bahwa menurut kepercayaan kuno Batak, diyakini perahu lah kendaraan yg membawa rohnya menuju surga.

Abal-abal tidak menggunakan paku dalam pembuatannya. Antara penutup dan bilik jenazah hanya diikat menggunakan rotan. Dari beberapa perajin peti mati yang ditemui, tidak ada yang pernah membuat Abal-abal Hau Sada.

Para perajin hanya membuat abal-abal biasa. Dibuat dari kayu sembarang, berbentuk rumah adat Batak. Lebih tinggi di bagian kepala. Ditambah beberapa ukiran, sesuai permintaan keluarga.

Parmualmualon yang dibuat dari Hau Sada hanya pernah muncul sekali dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Tepatnya saat pengusaha asal Sumut Sutan Raja Derianus Lungguk (DL) Sitorus meninggal dunia, 3 Agustus 2017. Dia meninggal dalam penerbangan dari Jakarta menuju Medan.

Pengusaha perkebunan itu memang sudah menyiapkan rumah abadinya jauh hari. Dibuat dari satu kayu utuh dan dipenuhi gorga di setiap sisinya. Sangat mewah, karena memang harganya yang diprediksi mencapai puluhan juta rupiah.

 

Tak sembarang orang bisa pakai abal-abal Hau Sada

Bagi etnis Batak, meninggal dan dikubur dengan abal-abal, khususnya Hau Sada, menjadi penghargaan luar biasa. Lantaran, tidak semua orang bisa memakainya.

Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan Manguji Nababan mengatakan jika ada syarat khusus bagi seseorang yang bisa menggunakan Hau Sada.

“Pada zaman dahulu, yang menggunakan abal-abal, itu adalah orang terhormat, berekonomi cukup, punya status sosial. Bisa Saur Matua dan malah Mauli Bulung. Kalau Sari Matua, masih ada di antara anaknya ini belum punya keturunan. Kalau Saur Matua anaknya sudah punya keturunan semua. Kalau Mauli Bulung itu adalah derajat paling tinggi di Orang Batak. Sudah didapatnya kriteria Saur Matua dan masih hidup semua keturunannya. Tidak ada yang meninggal. Dan semua berkecukupan. Itulah Mauli Bulung. Dia juga tidak punya cacat moral secara sosial,” ujar Manguji disela Diskusi Kelompok Terfokus Konservasi Abal-abal dan Naskah Bambu di Museum Negeri Sumut, Jumat (24/7/2020).

Wajar saja jika Abal-abal Hau Sada langka. Selain bahannya yang sudah susah dicari, syaratnya juga sangat kompleks.

Manuskrip Batak yang kian terlupakan

Semakin Langka, Abal-abal Hau Sada hingga Manuskrip Batak Naskah Bambu Batak di Museum Negeri Sumatra Utara.

Batak termasuk salah satu etnis yang memiliki kekayaan budaya. Salah satunya adalah manuskrip atau Pustaha. Namun manuskrip ini kian dilupakan. Khususnya di kalangan sekarang. Dianggap sudah kuno dan jumlahnya yang juga sangat terbatas untuk dipelajari.

Manguji, punya komitmen kuat melestarikan pustaha Batak. Di dalam diskusi itu, Manguji juga sempat menunjukkan empat buah naskah bambu. Manuskrip batak yang diukir pada bilah bambu, peninggalan para leluhur adat.

Naskah Bambu hanya salah satu dari putaha lainnya. Ada juga naskah yang ditulis dengan media kulit kayu hingga tulang kerbau.

“Saat ini manuskrip itu lebih banyak berada di museum-museum yang ada di eropa,” ujar Maguji.

Pustaha Batak berisikan narasi yang sarat makna tentang bagaimana kehidupan orang Batak. Isinya mulai dari soal ramuan obat-obatan, nujum tentang menentukan hari baik atau buruk, bahkan hingga yang berbau magis.

Laki-laki kelahiran Humbang Hasundutan, 3 April 1971 itu terus melakukan pelestarian Pustaha Batak. Manguji bahkan pernah diminta menyalin Pustaha Laklak. Salah satunya, saat Indonesia mengikuti Frankurt Book Fair, 2015. Dia menyalin pusataha berukuran lebar 12 cm panjang 6,25 meter.

 

Naskah Batak banyak dimusnahkan karena dianggap produk kekafiran

Semakin Langka, Abal-abal Hau Sada hingga Manuskrip BatakNaskah Bambu Batak di Museum Negeri Sumatra Utara.

Dengan usia koleksi yang ada juga menunjukkan jika budaya menulis di Etnis Batak sudah ada sejak lama. Meski bukti fisik menuskrip Batak berada di luar negeri, Manguji tidak merisaukannya. Lantaran di sana mereka menjaganya dengan baik.

Mansukrip Batak, kata Manguji, mulai hilang sejak missionaris Kristen masuk. Saat itu, berbagai naskah yang ada dianggap produk kekafiran. Dianggap bertetangan dengan ajaran agama. Lantaran ditulis oleh para Datu yang diartikan sebagai dukun.

Setiap kali ke Eropa, di beberapa museum besar di sana, Manguji selalu pulang dengan oleh-oleh digitalisasi koleksi manuskrip Batak. Itu salah satu bentuk upaya konservasi yang dilakukannya. Selain tetap mengumpulkan yang ada di dalam negeri.

“Kita sangat jauh standar penanganannya untuk satu koleksi. Lebih bagus di sana (di museum luar negeri),” ujarnya.

Untuk melakukan upaya konservasi Pustaha Laklak, Manguji sering keluar masuk hutang untuk mencari bahan kayu yang sama. “Pustaha laklak itu kan dari kayu Alim. Saya pergi ke Hutan di perbatasan Barus untuk mencari jenis kayu itu. Kemudian ditempel menggunakan lem kayu. Jadi yang sudah koyak atau lepas-lepas itu yang kita selamatkan,” ujarnya.

 

Kajian Abal-abal dan Manuskrip Batak akan dibukukan

Semakin Langka, Abal-abal Hau Sada hingga Manuskrip BatakPerajin Abal-abal khas Batak di Kabupaten Toba, Sumatra Utara.

Diskusi soal Abal-abal dan Naskah Bambu sudah dilakukan beberapa kali. Sebelum puncaknya di Museum Negeri, Pemerintah sudah menggelar diskusi terbatas di Balige, Kebupaten Toba. Mereka mengumpulkan informasi dari berbagai tokoh adat di Toba.

“Kajian ini akan menjadi deskripsi koleksi museum m. Sebagai informasi untuk masyarakat luas,” ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Museum Negri Sumut Deny Elpriansyah.

Nantinya, kesimpulan informasi akan dibukukan. Dia berharap buku itu bisa berguna bagi kalangan millenial untuk menjaga budaya leluhur.

“Ke depan kita harus membuat kajian yang lebih mendalam lagi. Sehingga referensi kita semakin banyak,” pungkasnya.