Perhelatan Milik Negeri Berbilang Kaum

Home / Berita  / Perhelatan Milik Negeri Berbilang Kaum

Analisa/nirwansyah sukartara

RESMIKAN SPFF 2017: Gubernur Provinsi Sumatera Utara, Tengku Erri Nuradi meresmikan perhelatan Sumut Paten Food Fashion (SPFF) 2017, Rabu (12/4) di salah satu mal di Kota Medan.

Oleh: Adelina Savitri Lubis

LENGGOK delapan penari di atas panggung itu bukanlah sekadar aktivitas, atas titah bahwa hari itu mereka harus menari. Senyum sang dara, para penari itu juga bukan semata ingin membius pengunjung yang hadir. Ada sebuah pesan yang tersirat tatkala almanak me­nan­­dainya di pekan kedua April, pada Ra­bu (12/4), di atrium mal selepas hu­jan. Ini adalah bagian dari prosesi jelang ulang tahun ke-69 Provinsi Sumatera Utara, 15 April 2017.

Tajuk Sumut Paten Food Fashion Festival (SPFF) 2017 menjadi alasan menga­pa orang nomor satu di Sumut, Tengku Erri Nuradi melangkahkan kakinya secara khusus ke lantai 1 mal terbesar di Kota Medan itu. Meskipun guratan lelah tampak pada wajahnya, namun senyum­nya masih mengembang tatkala dentum­an musik penyambutan mengiringi keda­tangannya.

Gubsu ini baru saja tiba dari kunjungan kerjanya ke Pulau Nias. Begitu mendarat di Bandara Kualanamu, gubernur yang akrap disapa Pak Erri ini langsung menuju mal temapt kegiatan SPFF 2017 berlang­sung. Hari itu, Pak Erri dijadwalkan untuk meresmikan open ceremony SPFF 2017.

“SPFF bagi saya adalah S untuk San­dang, P untuk Pangan, dan Food Fashion mewakili kata Sandang dan Pangan itu, namun jika mau diartikan sebagai Sumut Paten, boleh juga,” katanya dalam pidato singkat ketika di daulat ke atas panggung.

Ucapan sang Gubsu pun menabur tepuk tangan pengunjung. Pidatonya banyak menitikberatkan ke bidang food dan fashion. Sumut merupakan gudang­nya makanan dan fashion. Bahkan ma­kan­an di Sumut telah diakui sebagai salah satu daya tarik wisatawan ke Sumut. Terkait fashion, Erri menyampaikan cukup banyaknya desainer di Sumut. Bahkan dia ceritakan soal hasil kunjungan kerjanya ke Pulau Nias.

Hasil karya perancang busana di Pulau Nias sangat menggugah hatinya. Sangat cantik, pujinya. Tak dipungkirinya 33 kabupaten/kota di Sumut memiliki nilai fashion yang luar biasa. Setidaknya dia sudah membuktikannya sendiri, melalui mata dan dua tangannya. Erri pun merasa aneh, mengapa masih banyak masyarakat di Sumut yang masih bangga menggu­nakan produk dari luar?

“Sumut merupakan negeri berbilang kaum. Kita patut bangga terhadap kebu­dayaan daerah kita,” imbaunya.

Terlepas menyoroti hal itu, dia sangat bangga dengan kegiatan SPFF 2017 yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pa­riwisata Sumut, Pun sikap gotong-ro­yong berbagai pihak yang membantu me­nyuk­seskan acara itu. Hanya saja dia mengkritik sedikit perihal dilangsung­kannya sebuah event di Sumut. Katanya, kelemahan penyelenggaraannya kerap tergesa-gesa. Karena itu, pascakegiatan ini Pak Erri berencana mengajak seluruh pemerhati pariwisata untuk duduk bersa­ma, membahas rencana atau program yang dilangsungkan di Sumut.

“Bahkan jika perlu kita ajak para akademisi untuk duduk bersama, agar event yang dilangsungkan ke depannya tak lagi tergesa-gesa,” ajaknya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pari­wisata Sumut, Elisa Marbun, dalam pi­dato­nya juga menegaskan, kegiatan ini dilangsungkan dalam rangka me­nyam­but HUT Ke-69 Provinsi Sumut.  “Persis dengan tema yang kita ke depankan, yakni, ‘Dengan Momentum Hari Jadi ke-69 Kita Tingkatkan Daya Saing Me­nuju Sumut Paten dan Sejahtera’. SPFF 2017 menitikberatkan pada empat kegiatan, yakni, pameran makanan, pa­me­ran buah, pameran ulos, dan songket, ada juga pameran fashion yang dipersem­bahkan Deskranasda Sumut. Kegiatan ini diselenggarakan sejak 11-16 April 2017 ini,” katanya.

Sesuai dengan capaian usia Provinsi Sumut, 69 stan pun dihadirkan di atrium dan pelataran parkir mal. Selain stan makanan dan busana, beberapa stan di antaranya juga termasuk stan BUMN, stan Pemko Tebingtinggi dan Batubara, stan TBSU, juga stan kecantikan atau per­hiasan. Ada pun sumber pembiayaan diungkapkan Elisa berasal dari APBD Sumut.

Pukulan gondang yang bertalu pun menandai resminya pembukaan SPFF 2017. Pak Erri pun langsung mengunjungi tiap stan, setelah sebelumnya disambut oleh tarian barongsai. Dia menghentikan langkahnya pada stan buah-buahan, di sana Gubsu terlihat berdialog dengan penjaga stan. Menariknya buah-buahan yang di­pa­merkan merupakan buah produk lokal Sumut. Se­tidak­nya hal ini menjadi bahan edukasi bagi seluruh pengunjung untuk menge­tahui jenis buah yang meru­pakan produk asli Sumut. Salah satu pengunjung sa­mar-samar mempertanyakan apakah buah naga meru­pakan produk buah lokal asal Sumut. Apalagi tren meng­konsumsi buah naga baru dimulai dalam beberapa tahun belakangan.

Usai mengunjungi stan. Pak Erri pun duduk di dekat meja bundar yang telah di­siapkan. Lengkap panganan dan minuman pun telah tersedia di atas meja. Di seberangnya, kursi dan meja yang berjejer panjang pun telah dipenuhi pengunjung. Mereka memilih makanan dan minuman yang disukai. Bukan karena kehadiran Pak Erry, namun karena saat itu sudah pukul 17.00 WIB. Bukankah itu waktu yang lengang bersantai sembari menanti senja datang?

Murah Meriah

Warna lain agaknya telah menghiasi geliat aktivitas pengunjung di mal itu. Ber­balut kearifan lokal, SPFF 2017 memberikan kesan tersendiri bagi masyarakat Sumut, khususnya di Kota Medan. Meskipun bisik-bisik tentang mahalnya har­ga produk masih menjadi pro dan kontra perhelatan itu. Produk lokal yang har­ganya selangit, begitu ko­mentar yang jelas terdengar.

Sebuah pakaian yang di gantung hanger pada salah satu stan, menjadi sorotan pengunjung. Mungkin ka­rena berdekatan dengan panggung utama. Selain paling cepat ditangkap mata, pakaian ini juga mudah diraih. Begitu melihat harga yang tertera, seorang ibu menjadi enggan untuk me­lihat lebih jauh pakaian itu. Padahal pakaian itu bu­kanlah buatan pabrik, namun hasil hand made, karya anak bangsa. Itu pun tidak dicip­takan dalam jumlah yang banyak, hanya ada beberapa saja.

Sayangnya nilai rupiah yang tinggi pada bandrolan harga pakaian itu bak lampu merah yang tiba-tiba meng­hentikan ibu tadi untuk me­ngenal lebih jauh produk lokal itu. Situasi inilah yang kerap terjadi dalam setiap kegiatan bertajuk pameran, pun festival di Sumut. Jika itu tentang fashion, per­mintaan masyarakat pun sederhana, mengharapkan produk berkualitas dengan harga terjangkau. Jika itu tentang makanan, artinya harus enak dan murah me­riah. Pasalnya produk luar dengan jenis yang sama; food dan fashion yang dinik­mati oleh masyarakat Su­mut, menawarkan keunggu­lan pada harga yang terjang­kau dan produk yang me­muaskan.

Meskipun tatkala bicara tentang kualitas, produk luar sangat jauh di bawah produk lokal buatan anak bangsa. Jika begitu, apa yang ku­rang? Kreativitas!

Tak bisa dibantah, sajian produk luar mengetengah­kan ide-ide kreatif dalam setiap produknya. Hal itulah yang membuat produk luar lebih diminati masyarakat Sumut.

Situasi mal pada akhir pekan seperti Sabtu (15/4), kemarin pun terlihat ramai. Kursi-kursi yang sengaja disusun panjang menghadap stan produk makanan tam­pak dipenuhi pengunjung. Produk makanan dalam rang­kaian kegiatan SPFF 2017 ini tampaknya lebih diminati masyarakat. Selain harganya yang terjangkau, rasanya pun cocok di lidah pengunjung. Melongok ke atrium mal, panggung se­dang menghadirkan acara bagi kaum muda.

Bisik-bisik tentang ma­halnya harga produk dalam pameran fashion yang me­ngelilingi areal panggung agaknya masih terdengar hari itu. Seperti yang di­ungkapkan Ratna, warga Jalan Setia Budi Medan. Menurutnya harga Rp. 3 juta untuk sebuah produk tas, baginya tak masuk akal. Meskipun tas itu terbuat dari kulit ular. Secara pribadi dia mengharapkan produk-pro­duk yang dipamerkan ber­bandrol dengan harga ter­jangkau.

“Umumnya orang datang ke mal bukan untuk membeli produk-produk yang sedang dipamerkan di dalam mal. Tapi biasanya menonton, makan dan selebihnya hanya sekadar cuci mata,” ungkap­nya.

Begitupun sebagai warga Sumut, dia mengapresiasi kegiatan yang dise­leng­garakan pemerintah. Hanya saja katanya, harga yang ditawarkan sebaiknya juga terjangkau. Kecuali jika menjualnya kepada warga asing, harga mahal boleh dipertimbangkan.

Memang tak ada yang mudah, apalagi jika maksud dari sebuah perhelatan untuk menciptakan daya saing menuju Sumut Paten yang sejahtera. Agaknya penting untuk mempertimbangkan keinginan masyarakat. Sebe­lum meraih hati wisatawan, bukankah sebaiknya kita; seluruh pihak terlebih da­hulu meraih hati masyarakat di negeri sendiri. Persis episode cinta dalam kisah fiksi kebanyakan, konon ketika sudah suka, sudah cinta, kita akan melakukan apa saja, apa pun untuk yang dicintai. Sudahkah kau mencintai Sumut?

Sumber : http://harian.analisadaily.com/headline/news/perhelatan-milik-negeri-berbilang-kaum/340230/2017/04/16